Pages

Kamis, 21 Maret 2013

Film “Java Heat” Citra Jelek Islam Di Tengah Eksotiknya Yogyakarta

Foto: Film “Java Heat” Citra Jelek Islam Di Tengah Eksotiknya Yogyakarta

BUKAN Hollywood jika dalam filmnya tidak berusaha mencoreng citra Islam. Bisa dibilang hampir seluruh film-film Hollywood yang bertemakan terorisme, para pelakunya digambarkan sebagai umat Islam, tentu saja dengan simbol-simbol khas umat Islam seperti berjenggot, mengucapkan salam, takbir hingga terdengar suara adzan.

Tak ketinggalan dengan film terbaru Hollywood berjudul “Java Heat”. Mengambil suting di Yogjakarta dan sekitarnya, film ini berusaha mempertemukan dua budaya yaitu Amerika dan Indonesia yang ceritanya ditengahi dengan intrik-intrik dalam keindahan bangunan istana tua, candi-candi dalam labirin terowongan bawah tanah dan dunia kriminal di sebuah kota di tengah-tengah Pulau Jawa, kata penulis skenario dan produser film tersebut, Rob Allyn, pada tahun 2010 lalu.

“Java Heat” mengangkat kisah penculikan putri kraton Yogyakarta Hadiningrat yang dibarengi dengan pencurian barang berharga seperti perhiasan milik istana oleh penjahat internasional. Kemudian untuk mengungkap kasus ini, Polisi Indonesia mendapat bantuan dari tim profesional Amerika Serikat (Intel), sebuah cerita yang sangat biasa dan tidak memerlukan otak untuk mencerna film yang berbiaya belasan milyar ini.

Film ini menjadi tidak biasa ketika mengangkat eksotiknya Yogyakarta dengan kasus terorisme yang selalu dikaitkan dengan Islam. Dalam salah satu adegan di awal-awal film, sudah digambarkan sosok ‘teroris’ dengan rompi penuh berisi bom, meledakkan diri ditengah kerumunan orang sambil meneriakkan “Allahu Akbar”.

Lebih parahnya lagi, sosok Jake Travers (diperankan oleh Kellan Lutz salah satu pemain dalam film Twillight) yang menjadi jagoan Amrik di film ini, sewaktu di kampus bertemu dengan mahasiswi berjilbab, tidak berapa lama kemudian lewat dua mahasiswa berpakaian ala ‘Salafi’, memakai kupluk, gamis, berjenggot dan si mahasiswi mengatakan “they killed her”. Berusaha menjelaskan bahwa orang-orang seperti itulah yang telah melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.

Sosok sentral penjahat dalam film “Java Heat” adalah seorang bule bernama ‘Malik’ (diperankan oleh aktor terkenal Hollywood Mickey Rourke). Meski bernama Islami, ‘Malik’ juga doyan ama bocah laki-laki untuk penyaluran hasrat seksualnya.

Malik sendiri seorang penjahat kelas internasional yang berburu perhiasan mahal milik kraton Yogyakarta namun berkolaborasi dengan ‘jihadis’ lokal bernama Ahmad yang di film ini digambarkan sangat nyaman duduk di tempat maksiat meskipun tidak melakukan yang dilarang agama selama berada di tempat maksiat tersebut.

Film berdurasi hampir satu setengah jam ini, bisa dibilang dari awal hingga akhir telah membuat stigmanisasi negatif tentang Islam dan umat Islam. Alih-alih berusaha membuat bagaimana tolerannya umat Islam, yang ada justru unsur pluralisme yang diangkat. Bagaimana letnah Hasyim anggota Densus 88 (diperankan oleh Ario Bayu) memandikan jasad rekan polisinya yang kristen di masjid dan memandikannya ala Islam.

Beberapa poin yang unik dalam film “Java Heat” adalah penggambaran kantor polisi. Kantor polisi sekelas kota Yogyakarta, digambarkan kumuh, kucel, terbelakang. Untuk memutar video rekaman saja, yang tersedia televisi jadul hitam putih. Bahkan kantor polisi sekelas polsek di daerah pun tidak sebegitu terbelakangnya. Dan uniknya lagi, letnan Hasyim mengenakan baju polisi dengan di kiri bajunya bertuliskan Densus 88, juga mobil sedan polisinya di pintu sampingnya juga bertuliskan densus 88, sesuatu yang aneh dan menggelikan. Karena anggota Densus 88 sangat tidak ingin sosok dirinya dikenal di tengah masyarakat.

Sebagai catatan akhir, film “Java Heat” adalah film yang sudah layu sebelum berkembang, karena pemutaran perdananya di bioskop seharusnya pada 18 April, namun bajakannya (bahkan sudah versi blue ray) hampir sebulan sudah beredar di lapak-lapak penjualan DVD bajakan serta di internet.(fq/islampos)

-06-


Film terbaru Hollywood berjudul “Java Heat”. Mengambil suting di Yogjakarta dan sekitarnya, film ini berusaha mempertemukan dua budaya yaitu Amerika dan Indonesia yang ceritanya ditengahi dengan intrik-intrik dalam keindahan bangunan istana tua, candi-candi dalam labirin terowongan bawah tanah dan dunia kriminal di sebuah kota di tengah-tengah Pulau Jawa, kata penulis skenario dan produser film tersebut, Rob Allyn, pada tahun 2010 lalu.

“Java Heat” mengangkat kisah penculikan putri kraton Yogyakarta Hadiningrat yang dibarengi dengan pencurian barang berharga seperti perhiasan milik istana oleh penjahat internasional. Kemudian untuk mengungkap kasus ini, Polisi Indonesia mendapat bantuan dari tim profesional Amerika Serikat (Intel), sebuah cerita yang sangat biasa dan tidak memerlukan otak untuk mencerna film yang berbiaya belasan milyar ini.

Film ini menjadi tidak biasa ketika mengangkat eksotiknya Yogyakarta dengan kasus terorisme yang selalu dikaitkan dengan Islam. Dalam salah satu adegan di awal-awal film, sudah digambarkan sosok ‘teroris’ dengan rompi penuh berisi bom, meledakkan diri ditengah kerumunan orang sambil meneriakkan “Allahu Akbar”.

Lebih parahnya lagi, sosok Jake Travers (diperankan oleh Kellan Lutz salah satu pemain dalam film Twillight) yang menjadi jagoan Amrik di film ini, sewaktu di kampus bertemu dengan mahasiswi berjilbab, tidak berapa lama kemudian lewat dua mahasiswa berpakaian ala ‘Salafi’, memakai kupluk, gamis, berjenggot dan si mahasiswi mengatakan “they killed her”. Berusaha menjelaskan bahwa orang-orang seperti itulah yang telah melakukan aksi bom bunuh diri tersebut.

Sosok sentral penjahat dalam film “Java Heat” adalah seorang bule bernama ‘Malik’ (diperankan oleh aktor terkenal Hollywood Mickey Rourke). Meski bernama Islami, ‘Malik’ juga doyan ama bocah laki-laki untuk penyaluran hasrat seksualnya.

Malik sendiri seorang penjahat kelas internasional yang berburu perhiasan mahal milik kraton Yogyakarta namun berkolaborasi dengan ‘jihadis’ lokal bernama Ahmad yang di film ini digambarkan sangat nyaman duduk di tempat maksiat meskipun tidak melakukan yang dilarang agama selama berada di tempat maksiat tersebut.

Film berdurasi hampir satu setengah jam ini, bisa dibilang dari awal hingga akhir telah membuat stigmanisasi negatif tentang Islam dan umat Islam. Alih-alih berusaha membuat bagaimana tolerannya umat Islam, yang ada justru unsur pluralisme yang diangkat. Bagaimana letnah Hasyim anggota Densus 88 (diperankan oleh Ario Bayu) memandikan jasad rekan polisinya yang kristen di masjid dan memandikannya ala Islam.

Beberapa poin yang unik dalam film “Java Heat” adalah penggambaran kantor polisi. Kantor polisi sekelas kota Yogyakarta, digambarkan kumuh, kucel, terbelakang. Untuk memutar video rekaman saja, yang tersedia televisi jadul hitam putih. Bahkan kantor polisi sekelas polsek di daerah pun tidak sebegitu terbelakangnya. Dan uniknya lagi, letnan Hasyim mengenakan baju polisi dengan di kiri bajunya bertuliskan Densus 88, juga mobil sedan polisinya di pintu sampingnya juga bertuliskan densus 88, sesuatu yang aneh dan menggelikan. Karena anggota Densus 88 sangat tidak ingin sosok dirinya dikenal di tengah masyarakat.

Sebagai catatan akhir, film “Java Heat” adalah film yang sudah layu sebelum berkembang, karena pemutaran perdananya di bioskop seharusnya pada 18 April, namun bajakannya (bahkan sudah versi blue ray) hampir sebulan sudah beredar di lapak-lapak penjualan DVD bajakan serta di internet.(fq/islampos)

Renungan



Akan tetapi kemudian proses tersebut berhenti tanpa ada kemajuan lebih lanjut. Tampaknya sudah sekuat tenaga dan bayi kupu-kupu tersebut tetap tidak bisa bergerak lebih jauh lagi.

Sehingga akhirnya laki-laki tersebut memutuskan untuk menolong kupu-kupu tersebut. Diambilnya sebuah gunting untuk membuka kepompong tersebut. Dan kupu-kupu tersebut akhirnya keluar dengan mudahnya dan dengan tubuh yang lemah, kecil, dan sayap yang mengkerut.

Sang lelaki terus mengamati dengan berharap bahwa suatu saat sayap kupu-kupu akan terbuka dan mengembang agar bisa menyangga tubuhnya menjadi kuat.
Ternyata…. Keadaan tidak berubah. Kupu-kupu tersebut tetap lemah dan selalu menghabiskan sisa waktu hidupnya dengan merangkak denga tubuhnya yang lemah dan sayap yang mengkerut.
Lelaki baik dan penolong ini tidak mengerti bahwa kepompong yang menjerat dan perjuangan yang dibutuhkan oleh kupu-kupu untuk dapat lolos melewati lubang kecil adalah cara Allah untuk mendorong cairan tubuh dari kupu-kupu kesayapnya agar kuat dan siap untuk terbang setelah keluar dari kepompong.

Perjuangan mutlak dibutuhkan dalam menjalani hidup kita ini. Apabila Allah membolehkan kita hidup tanpa hambatan, itu akan membuat tubuh kita lemah. Kita tidak aka sekuat ini. Tidak pernah bisa sesukses ini.
Kita memohon diberi kekuatan… dan Allah memberi kesulitan agar membuat kita kuat
 … dan Allah memberi kita masalah untuk diselesaikan
Kita memohon kekayaan… dan Allah member kita waktu, bakat, kesehatan dan peluang
Kita memohon keberanian… dan Allah memberi hambatan untuk dilewati
Kita memohon rasa cinta …. Dan Allah memberi orang-orang bermasalah untuk dibantu
Kita memohon kelebihan …. Dan Allah memberi kita jalan untuk menemukannya
Kita tidak menerima apapun yang kita minta akan tetapi Allah kita menerima semua yang kita butuhkan
Hiduplah dengan keberanian, hadapi semua hambatan dan tunjukkan bahwa kamu mampu mengatasinya
Usahakanlah sekuat tenaga untuk menemukan bakatmu, luangkanlah waktu belajar untuk menambah ilmu pengetahuan dan keterampilanmu, jaga kesehatanmu, gunakan waktumu hanya untuk kegiatan yang berkaitan dengan misimu.
Banyak berdoa agar Allah menunjukkkan jalan yang benar dalam menemukan peluang dan tetaplah istoqomah dan jangan bosan untuk terus berusaha. 

Ketika Komputer Tidak Bisa Masuk Ke Windows Normal


Berbagi pengalaman ketika komputer ku tidak bisa masuk ke windows secara normal. Setelah mencoba untuk masuk yang awalnya terlihat tidak ada masalah, akan tetapi setelah membuka progaram pertama yang terjadi komputerku malah ngeheng.. dan pada akhirnya dimatikan secara paksa dengan mencabut baterai nya ( wah yang ini takutnya bisa ngerusak hardisk ada uyang punya saran lain? ) setelah masuk saya mencoba mengambil obtion untuk masuk ke save mode dan ternyata bisa masuk dan dapat dioperasikan dengan lancar saat itu saya gunakan utnuk memindahkan data2 penting yang masih ada di drive C. Setelah itu saya mencoba turn off lalu masuk ke windows normal dan ternyata malah semakin parah karena tidak muncul gambar background. Langsung saja saat itu saya berpikir untuk di install ulang namun saja berpikir ini mungkin karena anti virus, sebab saat kerja anti virusnya ter up-date secara otomatis dan meminta untuk di rebort ( di restart) namun saya cancel karena saya masih mengerjakan tugas saya. Dan waktu pulang sata hibernate lalu baru sampai rumah saya nyalakan kembali lalu baru di turn off. 
Oleh sebab itu cara terakhir yang saya mau coba sebelum di install ulang adalah meng-uninstall antivirus nya. Setelah meng turn off paksa ( mencabut batere) saya masuk ke save mode yang ternyata masih dapat mengoperasikan program secara normal. Lalu saya mencoba meng install ulang antivirusnya. Setelah itu komputer merestart secara otomatis dan masuk ke windows normal. Dan hasilnya... komputer saya dapat dioperasikan pada windows nolmaly secara baik seperti semula. Sekian pengalaman saya semoga dapat bermanfaat bagi yang mengalami hal yang sama. 

Sejarah Vaksinasi



Sejarah vaksin tidak dapat dilepaskan dari nama seorang dokter Inggris yang lahir pada 17 Mei 1749, yaitu Edward Jenner. Pada 1796, suatu hari dalam hidup ilmuwan yang berasal dari Berkeley, Gloucestershire, Inggris ini, datang kepadanya seorang wanita pemerah susu bernama Sarah Nelmes yang mengeluhkan adanya rash di tangannya. Jenner, dengan pisau tajam justru mengambil materi rash yang diketahui sebagai penyakit cacar menular pada sapi tersebut (cowpox) dan memindahkannya ke lengan James Phipps, seorang anak tukang kebunnya yang berusia 8 tahun. James lantas terkena cowpox, namun segera sembuh. Selanjutnya, Jenner mengoleskan materi dari luka cacar smallpox, penyakit mematikan yang mewabah saat itu, ke luka yang ia buat di tangan James. Sebagaimana dugaan Jenner, James tidak terkena cacar. Sesuatu yang berasal dari cowpox telah melindungi James.
Setelah percobaannya yang sukses tersebut, Jenner kembali melakukan percobaan sebanyak 23 kasus yang sama, termasuk pada anak lelakinya yang berumur 11 bulan. Semua detail penelitiannya ia kumpulkan dalam sebuah buku dengan titel "An inquiry into the causes and effects of the variolae vaccinae, a disease discovered in some of the western counties of England, particularly Gloucestershire, and known by the name of The Cow Pox". Dengan keberhasilan Jenner ini, ilmu imunologi pun lahir. Penemuan Jenner tersebut dikenal sebagai vaksinasi yang diambil dari bahasa latin sapi, yaitu vacca.
Namun, jauh sebelum penemuan Edward Jenner, vaksinasi sesungguhnya telah dikembangkan di Cina pada awal tahun 200 sebelum masehi. Misalnya, vaksin dari serbuk luka orang yeng terinfeksi cacar yang berhasil didokumentasikan berasal dari India dan China sekitar abad 17. Penyakit cacar, saat itu melanda seluruh dunia dan mengakibatkan kematian sekitar 20-30 persen orang yang terinfeksi. Beberapa tahun sebelum percobaan Jenner, juga setidaknya ada 6 orang yang mencoba melakukan imunisasi cacar yaitu seorang kebangsaan Inggris pada 1771, Sevel dari Jerman sekitar tahun 1772, Jensen dari Jerman tahun 1770, Benjamin Jesty, Inggris, tahun 1774, Rendall, Inggris tahun 1782, dan Peter Plett, Jerman, tahun 1796.
Seorang istri duta besar Inggris di Turki tahun 1716 hingga 1718 juga mengamati tradisi vaksinasi Turki yang disebut Ashi, yaitu vaksinasi dengan mengoleskan lesi cacar sapi pada dada ternak ke anak-anak mereka. Lady Mary Wortley Montagu, istri duta besar tersebut, meminta ahli bedah kedutaan Charles Maitland, untuk melakukan metode vaksinasi tersebut pada anak lelakinya. Lantas, ia menulis surat pada saudara dan teman-temannya di Inggris, menggambarkan proses vaksinasi ala Turki secara lengkap. Ketika kembali ke Inggris, Lady Montagu tak putus menyebarkan tradisi Turki tersebut dengan cara menyuntik koleganya.
Waktu berganti, ratusan tahun sejak momentum keberhasilan Edward Jenner, vaksin telah digunakan untuk terapi berbagai penyakit. Louis Pasteur mengembangkan teknik vaksinasi pada abad 19 dan mengaplikasikan pengguanaannya untuk penyakit anthrax dan rabies. Dengan vaksin pula, beberapa penyakit besar yang melanda umat manusia dapat dikontrol atau dibatasi penyebarannya. WHO mencatat tahun beberapa jenis vaksin pertama yang digunakan pada manusia, yaitu cacar pada tahun 1798, Rabies tahun 1885, Pes tahun 1897, Difteri tahun 1923, Pertusis tahun 1926, Tuberculosis (BCG) tahun 1927, Tetanus tahun 1927, Yellow Fever tahun 1935. Setelah perang dunia ke dua, pengembangan vaksin mengalami percepatan. Vaksin Polio suntik pertama diaplikasikan pada manusia tahun 1955, sedangkan vaksin polio oral tahun 1962. Selanjutnya campak tahun 1964, mumps tahun 1967, rubella tahun 1970, dan hepatitis B tahun 1981.

Tekad Bulat Seorang Pemuda untuk Berjuang


Seorang pemuda belia dari kabilah Aslam sedang termenung sendirian agaknya dia sedang sibuk memikirkan sesuatu yang membebani hatinya. Pemuda itu bertubuh kuat, gagah, penuh gairah untuk menghadapi masa depan yang penuh berbagai tantangan. Badanya tegap dan kuat, sanggup untuk dihadapkan pada perjuangan  seperti yang sedang dilakukan oleh yang lain, jihad fisabilillah. Adakah jalan yang lebih afdol dan lebih mulia dari jihad fisabilillah..? Rasa-rasanya tak ada. Sebab itulah satu-satunya jalan jika memang benar-benar telah menjadi tujuan dan niat suci untuk mencari restu dn ridho Allah SWT. "Demi Allah, inilah satu kesempatan yang sangat baik", kata hati pemuda itu.

Yah,.....sebab disana, serombongan kaum muslimin sedang bersiap menuju juang jihad fisabilillah. Sebagian sudah berangkat, sebagian lagi baru datang, dan akan segera berangkat. Semuanya menampakan wajah yang senang, pasrah, dan tenang dengan satu iman yang mendalam. Wajah-wajah mereka membayangkan suatu keyakinan penuh, bahwa sebelum ajal berpantang mati. Maut akan menimpa diman pun kita berada. yakin bahwa umur itu satu. kapan kan sampai batasnya, hanya Allah yang maha tahu. Bagaimana sebab dan kejadianya, takdir Allah lah yang menentukan.
Maut, adalah sesuatu yang tak dapat dihindari manusia. Dia pasti datang menjemput manusia. Entah disaat manusia sedang duduk, diam di rumah, atau mungkin berada dalam perlindungan benteng yang kokoh, mungkin pula sedang bersembunyi ditempat persembunyiannya, di gua yang gelap, di jalan raya yang ramai, ataukah di medan peperangan. Bahkan bukan mustahil maut akan menjemput kala manusia sedang tidur, di atas temapt tidurnya. Semua itu hanya Allah lah yang berkuasa, dan berkehendak atasnya.
Menunggu kedatangan maut memang masa-masa yang paling mendebarkan jiwa. Betapa tidak? Hanya sendirilah yang dapat dibawa menghadap penguasa yang Esa kelak. Medan juang fisabillah tersedia bagi mereka yang kuat. Penuh keberanian dan keikhlasan mencari ridho Allah semata. Mereka yang berjiwa suci ditengah-tengah tubuh yang perkasa. Angan-angan ikhlas yang disertai hati yang bersih. Memang, saat itu keberanian telah menjiwai setiap kalbu kaum muslimin. Panggilan dan dengungan untuk jihad fisabilillah merupakan angan-angan dan tujuan harapan mereka. Mereka yakin, dibalik hiruk-pikuknya peperangan Allah telah menjanjikan imbalan yang setimpal baginya. Selain dengan itu dia dapat membersihkan jiwanya dari berbagi noda. Baik itu berupa noda-noda aqidah, niat-niat jahat, berbagi dosa perbuatan ataupun kekotoran muamalah yang lain. Pengorbanan mereka yang mulia itu menunjukan kepribadian yang baik dan luhur. Semua sesuai dengan ajaran agama yang murni. Pantas menjadi contoh dan teladan, bahkan sebagai mercu suar yang menerangi dunia dan isi alam semesta.
Itulah renungan hati pemuda Aslam yang gagah itu. Sepenuh hati dia berkata seolah kepada diri sendiri. "Harus ! harus dan mesti aku berbut sesuatu. Jangan kemiskinan dan kefakiran ini menjadi hamabtan dan penghalang mencapai tujuanku."
Mantap, penuh keyakinan dan semangat yang tinggi pemuda tersebut ini menggabungkan diri dengan pasukan kaum muslimin. Usia pemuda itu memang masih belia, namun cara berfikir dan jiwanya cukup matang, kemauanya keras, ketangksan dan kelincahan menjadi jaminan kegesitanya di medan juang. Namun mengapa pemuda yang begitu bersemangat itu tak dapat ikut serta dalam barisan pejuan? Seababnya hanya satu. Dia tidak mempunyai bekal dan senjata apa-apa yang dapat dipakainya untuk berperang karena kemiskinan dan kefakiranya. Sebab pikirnya, tidak mungkin untuk terjuan ke medan perjuangan tanpa senjata apapun. Tanpa senjata dia tidak mampu melakukan apapun. Bahkan dia tidak akan berfungsi apa-apa. Mungkin untuk menyelamatkan diri saja, dia tidak mampu. Inilah yang menjadikan pemuda itu berfikir panjang lebar. Otaknya bekerja keras agar hasratnya yang besar berjuang dapat tercapai.
Setelah tidak juga dicapainya pemecahan, dia pergi menghadap Rasulullah SAW. Diceritakan semua keadaan dan penderitaan serta keinginannya yang besar. Dia memang miskin, fakir dan menderita, namun dia tidk mengharapkan apa-apa dari keikutsertaanya berjaung. Dikatakanya kepada Rasulullah SAW, bahwa dia tidak meminta berbagai pendekatan duniawi kepada Rasulullah; Dia hanya menginginkan bagaimana caranya agar dia dapat masuk barisan pejuang fisabilillah. Mendengar hal demikian, Rasulullah bertanya, setelah dengan cermat meneliti dan memandang pemuda tersebut: "Hai pemuda, sebenarnya apa yang engkau katakan itu dan apa pula yang engkau harapkan?". 

"Saya ingin berjuang, ya Rasulullah!" jawab pemuda itu. "Lalu apa yang menghalangimu untuk melakukan itu", tanya Rasulullah SAW kemudian. "Saya tidk mempunyai perbekalan apa-apa untuk persiapan perjaungan itu ya Rasulullah", jawab pemuda tersebut terus terang. Alangkah tercengangnya Rasulullah mendengar jawaban itu. Cermat diawasinya wajah pemuda tersebut. Wajah yang berseri-seri, tanpa ragu dan penuh keberanian menghadap maut, sementara disana banyak kaum munafikin yang hatinya takut dan gentar apabila terdengar panggilan seruan untuk berjaung jihad fisabilillah.
Demi Allah! jauh benar perbedaan pemuda itu dengan para munafiqin di sana. Kaum munafiqin yang dihinggapi rasa rendah diri, selalu mementingkan diri-sendiri. Mereka tidak suka dan tidak mau memikul beban dan tanggung jawab demi kebenaran yang hakiki. Kaum yang tidak senang hidup dalam alam kedamaian dan ketentraman dlam ajaran agama yang benar. Mereka lebih suka berada dalam hidup dan suasana kegelapan dan kekalutan. Ibarat kuman-kuman kotor, yang hidupnya hanya untuk mengacau dan menghancurkan apa saja. Celakalah mereka yang besar dan tegap badan serta tubuhnya namun licik dan kerdil pikiran serta hatinya.
Kebanggaanlah bagimu yang tepat hai pemuda! semogalah Allah banyak menciptakan manusia-manusia sepertimu. Yang dapat menjadi generasi penerusmu. Yang akan menjunjung tinggi kemulyaan Islam, budi pekerti yang mulia menuju alam yang bahagia sejahtera lahir batin.
Benar, kaum muslimin sangat memrlukan jiwa yang demikian. Jiwa yang besar penuh keyakinan, dan juga keberanian yang mantap. Sepantasnya pemuda seperti dari kabilah Aslam itu mendapat segala keperluan serta keinginanya untuk melaksanakan hasrat cita-cita keinginan itu. Rasulullah SAW akhirnya berkata kepada pemuda Aslam tersebut: "Pergilah engkau kepada si Fulan! Dia yang sebenarnya sudah siap lengkap dengan perlatan berperang tapi tidak jadi berangkat karena sakit. Nah pergilah kepadanya dan mintalah perlengkapan yang ada padanya."
Pemuda itu pun bergegas menemui orang yang ditunjukan Rasulullah SAW tadi. Katanya kepada si Fulan: "Rasulullah SAW menyampaikan salam padamu juga pesan. Beliau berpesan agar perlengkapan perang yang engkau miliki yang tidak jadi engkau pakai pergi berperang agar diserahkan kepadaku." Orang yang tidak jadi berperang itu penuh hormat menjalankan perintah Rasulullah SAW sambil mengucapkan: "Selamat datang wahai utusan Rasulullah! Saya hormati dan taati segala perintah Rasulullah SAW."
Segera dia menyuruh istrinya untuk mengambil pakaian dan peralatan perang yang tidak jadi dipakainya. Diserahkan semua itu pada pemuda kabilah Aslam. Sambil mengucapkan terima kasih pemuda tersebut menerima perlengkapan itu. Sebelum dia berangkat dan meninggalkan rumah itu, pemuda tersebut sempat berucap: "Terima kasih sebesar-besarnya. Anda telah menghilangkan seluruh duka dan keputusasaanku. Bagimu pahala Allah yang besar tiada taranya. Terima kasih.........Terima kasih."
Pemuda suku Aslam itu kemudian keluar dengan riang. Wajahnya bersinar gembira. Dengan berlari-lari dia meningalkan rumah orang yang tidak jadi berperang itu. Di tengah jalan pemuda tersebut bertemu dengan salah satu temanya yang keheranan dan bengong. Tanyanya: "Hai, hendak kemana engkau?", "Aku akan menuju janntul firdaus yang selebar langit dan bumi", jawab pemuda itu dengan singkat dan tepat.

Menjadi Pejuang Islam


Menjadi pejuang Islam? Hiii takuuut! Lho, kenapa musti takut? Hmm.. rupanya ada bisik-bisik tetangga nih. Maklum, di jaman sekarang ini, jadi aktivis itu katanya bikin hidup kagak lebih hidup. Abisnya, masyarakat suka mencontohkan hal-hal serem berkaitan dengan hal itu. Celakanya, itu menurut penilaiannya yang emang nggak objektif. Misalnya, ada yang bilang kalo jadi aktivis itu risikonya berat. Lihat aja orang-orang yang melakukan demonstrasi, mereka dikejar, ditangkapi, dijebloskan ke bui, bahkan nggak sedikit yang kemudian dikasih "kopi pahit", alias dipateni. Wah syerem juga ya? Tapi anehnya meskipun udah tahu risikonya, kok masih banyak yang mau melakukannya?
Sobat muda muslim, hidup ini adalah perjuangan. Dan yang namanya perjuangan, selalu punya risiko. Itu sudah pasti. Uniknya, rata-rata risikonya udah ketahuan, alias bisa kita perhitungkan. Ya, ibarat tukang dagang, sebetulnya doi udah tahu ada risikonya, yakni rugi. Kerugian tersebut bisa aja berasal dari barang dagangannya yang emang nggak laku dijual, alias masyarakat nggak minat beli barang dagangannya. Bisa juga faktor lain, misalnya, ada penertiban dari aparat tibum. Baru aja nongkrong, eh barangnya udah diangkut truk aparat tibum karena berjualan di jalur terlarang. Itu risiko. Tapi apakah itu kemudian membuat mereka males jualan? Rasanya, kalo kamu lihat dengan bijak, mereka tetap punya semangat untuk berdagang. Alasan mereka, inilah perjuangan hidup.
Setiap orang, siapapun ia dan apapun jenis pekerjaannya selalu punya risiko. Pak sopir yang sehari-hari hidup di jalanan, risikonya udah ketahuan kan? Bisa aja terjadi kecelakaan atau sebangsanya. Jadi tentara? Juga udah jelas risikonya. Dikirim ke daerah konflik seperti di Ambon atau NAD (Nangroe Aceh Darussalam), pilihannya cuma dua, selamat atau mati di medan tempur. Termasuk mereka yang bekerja di belakang meja sekalipun, ada risikonya. Hidup memang penuh risiko. Jadi kenapa musti takut?
Sobat muda muslim, kita memaparkan contoh-contoh tadi dengan harapan kamu juga bisa bersikap lebih dewasa dan bijak. Sekali lagi, hidup ini penuh risiko. Tinggal bagaimana kita bisa menjadikan hidup ini enjoy untuk dinikmati. Sobat, yang terpenting dari semua itu, kita kudu punya tujuan dalam hidup ini. Tanpa tujuan, rasanya hidup ini garing bin bete banget. Tom Bodett punya pepatah begini: "Mereka berkata bahwa setiap orang membutuhkan tiga hal yang akan membuat mereka berbahagia di dunia ini, yaitu; seseorang untuk dicintai, sesuatu untuk dilakukan, dan sesuatu untuk diharapkan."
Rasanya nggak salah-salah amat Tom Bodett menuliskan kata-kata mutiaranya begitu. Sebab, kita di dunia membutuhkan kejelasan arah. Apalagi kita sebagai seorang muslim, harus sudah tahu apa yang kudu dilakukan, yakni berjuang untuk Islam, dan sudah ngeh dengan apa yang diharapkan, yakni terwujudnya kembali kehidupan Islam di dunia ini.
Sobat pembaca, inilah cita-cita tertinggi kita sebagai pemuda pejuang Islam. Berjuang, berjuang, dan berjuang untuk Islam. Bukan untuk yang lain. Kita harusnya malu dengan saudara kita di Palestina, mereka punya semangat yang pantang menyerah dan tahu betul makna hidup. Mereka bilang, berperang melawan tentara Yahudi, atau diam di rumah, kematian pasti akan datang menjemput. Yup, persoalan yang terpenting adalah bagaimana cara mati kita? Apakah sedang dalam berjuang untuk Islam, atau malah sedang maksiat? Itu yang kudu jadi perhatian kita..
Menanamkan keberanian
Setelah punya tujuan dan cita-cita dalam hidup ini, satu hal yang wajib dimiliki oleh kaum muslimin, khususnya pemuda, adalah keberanian untuk menjadi pejuang dan pembela Islam. Tanpa keberanian, rasanya semangat itu hanya berkecamuk saja dalam dada. Nggak terwujud dalam perilaku keseharian.
Kamu pernah menyaksikan aksi heroik Letnan Chris Burnett yang diperankan Owen Wilson dalam film perang berjudul Behind Enemy Lines? Di situ, kita bisa ambil semacam hikmah. Bahwa keberanian dan kecerdasan sangat diperlukan dalam kondisi kritis seperti itu. Chris Burnett, sebagai pilot jempolan yang lihai menerbangkan jet tempur F/A-18 Superhornet harus menerima kenyataan pahit ketika pesawatnya dihantam rudal musuh saat akan melakukan investigasi tentang kekejaman Serbia di Bosnia. Beruntung Owen Wilson, eh, Chris Burnett bisa menyelamatkan diri dengan kursi pelontar. Tapi celakanya, doi terperangkap di belakang garis musuh. Inilah cerita yang amat mendebarkan tentang sisi lain dari perang Bosnia. Apa yang dilakukan Burnett? Sembari menunggu datang pertolongan, ia berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran tentara Serbia yang kejam. Rasanya, tanpa keberanian, meskipun ini hanya sekadar dalam film, Burnett sudah nyerah duluan, apalagi temannya ditembak mati di depan mata kepalanya sendiri. Tapi keberanian ternyata tetap bersemayam dalam dadanya.

Nah, kita, sebagai seorang muslim jangan pernah merasa takut, kecuali hanya kepada Allah. Kita jangan kalah semangat dengan salah seorang prajurit perang salib yang berkata lantang kepada ibunya ketika ia hendak menghancurkan Islam. "Ibu…tenangkan hatimu, berbahagialah, anakmu pergi ke Tripoli siap mengalirkan darah demi melumatkan bangsa yang terkutuk. Dengan segala kekuatan yang aku miliki akan aku lenyapkan Islam. Akan aku bakar al-Quran" (al-Qoumiyyah wal Ghozwul Fikriy, hlm. 208)
Bayangkan, prajurit Perang Salib saja yang jelas-jelas di jalur yang salah punya keberanian seperti itu. Kita, pemuda Islam harus bisa lebih dari keberanian orang-orang kafir. Sebab kita di jalur yang benar dalam pandangan Allah Swt.
Sobat muda muslim, para sahabat yang mulia adalah sosok yang layak untuk dijadikan teladan bagi kita dalam mencontoh keberaniannya.
Ada satu peristiwa yang sangat menarik untuk direnungkan para pemuda jaman kiwari. Peristiwa ini selengkapnya diceritakan oleh Abdurrahman bin 'Auf: "Selagi aku berdiri di dalam barisan pada Perang Badar, aku melihat ke kanan dan kiriku, saat itu tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap semoga aku lebih kuat dari padanya. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka menekanku seraya berkata: 'Hai Paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal?' Aku jawab: 'Ya, apakah keperluanmu padanya, hai anak saudaraku?' Dia menjawab: 'Ada seorang yang memberitahuku bahwa Abu Jahal ini sering mencela Rasulullah saw. Demi (Allah) yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika aku menjumpainya tentulah tak akan kulepaskan dia sampai siapa yang terlebih dulu mati, antara aku atau dia!' Berkata Abdurrahman bin 'Auf: 'Aku merasa heran ketika mendengar ucapan anak muda itu'. Kemudian anak yang satunya pun menekanku dan berkata seperti temannya tadi. Tidak lama berselang, aku pun melihat Abu Jahal sedang mondar-mandir di dalam barisannya, segera aku katakan (kepada kedua anak muda itu): 'Itulah orang yang sedang kalian cari!' Keduanya langsung menyerang Abu Jahal, menikamnya dengan pedang sampai tewas. Setelah itu mereka menghampiri Rasulullah saw. (dengan rasa bangga) untuk melaporkan kejadian itu. Rasulullah saw. berkata: 'Siapa di antara kalian yang menewaskannya?' Masing-masing menjawab: 'Sayalah yang membunuhnya'. Lalu Rasulullah bertanya lagi: 'Apakah kalian sudah membersihkan mata pedang kalian?' 'Belum' jawab mereka serentak. Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda: 'Kamu berdua telah membunuhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senjata yang dipakai Abu Jahal (boleh) dimiliki Muadz bin al-Jamuh." (Berkata perawi hadis ini): Kedua pemuda itu adalah Mu'adz bin "Afra" dan Muadz bin Amru bin al-Jamuh (Musnad Imam Ahmad I/193. Shahih Bukhari hadis nomor 3141 dan Shahih Muslim hadis nomor 1752)
Sobat muda muslim, pemuda seperti inilah yang bakal menjadi pembela dan pejuang Islam yang tangguh. Selain semangat, tentunya wajib memiliki keberanian.
Rela berkorban
Yup, perjuangan, selain butuh keberanian, juga kudu rela berkorban. Apapun jenis pengorbanan yang kudu kita berikan untuk tegaknya Islam di muka bumi ini. Bisa berupa waktu kita, harta kita, tenaga kita, bahkan nyawa kita. Semuanya harus rela kita korbankan. Sebab, kita yakin hal itu bukanlah kesia-siaan. Firman Allah Swt.:"Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama beliau, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan merekalah orang-orang yang memperoleh berbagai kebaikan dan merekalah orang-orang yang beruntung." (TQS at-Taubah [9]: 88)
Sobat muda muslim, benar bahwa kita harus menjadi pemuda pejuang Islam. Untuk itu kita harus punya keberanian dan rela berkorban. Supaya perjuangan ini lebih punya makna. Rasanya memang janggal ya, kalo kita berjuang, terus pengen berhasil, tapi sedikitpun nggak berani dan nggak rela untuk berkorban. Itu mah sama aja dengan boong, ya nggak?


Aneh banget kan, kalo ada orang yang ingin menang dan sukses, tapi dirinya nggak berani menghadapi rintangan dan ogah berkorban. Rasanya emang nggak ada dalam kehidupan nyata. Jadi, jangan ngimpi!
Nah, apalagi dalam urusan hidup dan mati untuk tegaknya Islam ini, jelas diperlukan keberanian dan sikap rela berkorban yang tinggi. Masak kita kalah sama mereka yang cuma berjuang untuk yang sebetulnya nggak perlu bagi sebuah kemajuan bangsa. Kita, insya Allah akan menjadi pembela dan pejuang Islam, yang akan menentukan masa depan Islam. Rasanya, pantas bila memiliki sikap rela berkorban yang tinggi. Untuk mengalahkan segala hambatan. Firman Allah Swt.:"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushilat [41]: 30)
Berilmu, bertakwa, dan optimis
Imam asy-Syafii mengatakan bahwa: "Sesungguhnya kehidupan pemuda itu, demi Allah hanya dengan ilmu dan takwa (memiliki ilmu dan bertakwa), karena apabila yang dua hal itu tidak ada, tidak dianggap hadir (dalam kehidupan)." Sabda Rasulullah saw: "Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka dia diberi pendalaman dalam ilmu agama. Sesungguhnya memperoleh ilmu hanya dengan belajar." (HR. Bukhari).


Sobat muda muslim, untuk menjadi pemuda pejuang Islam, kamu kudu menyiapkan mental dan juga ilmu. Keberanian dan rela berkorban kudu ditunjang dengan ilmu dan ketakwaan. Dan terakhir, rasa optimis perlu juga dimiliki. David J. Schwartz, menyebutkan bahwa ujian bagi seseorang yang sukses bukanlah pada kemampuannya untuk mencegah munculnya masalah, tetapi pada waktu menghadapi dan menyelesaikan setiap kesulitan saat masalah itu terjadi. Jadi optimis. Bener juga ya?
Oke deh, mulai sekarang kita kaji Islam. Pahami dan amalkan dalam kehidupan kita. Jadi, jangan malas ngaji lagi ya? 
(Buletin Gaul Islam)

Mukjizat Alquran tentang Garis Edar Tata Surya



Menurut Ilmu Astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan luar biasa yang mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang disebut Solar Apex.

Ini berarti bahwa matahari bergerak sejauh kurang lebih 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Selanjutnya, semua bintang di alam semesta berada dalam suatu gerakan serupa yang terencana.

Sebagaimana komet-komet lain di alam raya, komet Halley, sebagaimana terlihat di atas, juga bergerak mengikuti orbit atau garis edarnya yang telah ditetapkan. Komet ini memiliki garis edar khusus dan bergerak mengikuti garis edar ini secara harmonis bersama-sama dengan benda-benda langit lainnya.

Menurut Harun Yahya, terdapat sekitar 200 miliar galaksi di alam semesta yang masing-masing terdiri dari hampir 200 bintang. Sebagian besar bintang-bintang ini mempunyai planet, dan sebagian besar planet-planet ini mempunyai bulan.

Semua benda langit tersebut bergerak dalam garis peredaran yang diperhitungkan dengan sangat teliti. Selama jutaan tahun, masing-masing seolah "berenang" sepanjang garis edarnya dalam keserasian dan keteraturan yang sempurna bersama dengan yang lain. Selain itu, sejumlah komet juga bergerak bersama sepanjang garis edar yang ditetapkan baginya.


Semua benda langit termasuk planet, satelit yang mengiringi planet, bintang, dan bahkan galaksi, memiliki orbit atau garis edar mereka masing-masing. Semua orbit ini telah ditetapkan berdasarkan perhitungan yang sangat teliti dengan cermat. Yang membangun dan memelihara tatanan sempurna ini adalah Allah, Pencipta seluruh sekalian alam.

Garis edar di alam semesta tidak hanya dimiliki oleh benda-benda angkasa. Galaksi-galaksi pun berjalan pada kecepatan luar biasa dalam suatu garis peredaran yang terhitung dan terencana. Selama pergerakan ini, tak satupun dari benda-benda angkasa ini memotong lintasan yang lain, atau bertabrakan dengan lainnya. Bahkan, telah teramati bahwa sejumlah galaksi berpapasan satu sama lain tanpa satu pun dari bagian-bagiannya saling bersentuhan.

Fenomena itu telah disebutkan dalam Alquran sejak abad ke-7 M. Padahal, pada zaman itu manusia tidak memiliki teleskop ataupun teknologi canggih untuk mengamati ruang angkasa berjarak jutaan kilometer, tidak pula pengetahuan fisika ataupun astronomi modern. Dalam Alquran disebutkan matahari dan bulan masing-masing bergerak dalam orbit atau garis edar tertentu.

Simak firman Allah SWT dalam surah Al-Anbiya [21] ayat 33: ''Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya."

Disebutkan pula dalam surah Ya Sin [36] ayat 38: ''Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.''

Menurut Alquran, keseluruhan alam semesta yang dipenuhi oleh lintasan dan garis edar: "Demi langit yang mempunyai jalan-jalan." (QS Az-Zariyat [51]:7)

Maha Benar Allah SWT dengan Segala Firmannya.
Redaktur: Heri Ruslan
Sumber: harun yahya (www.republika.co.id)

Inilah Mukjizat Alquran tentang Rahasia Besi



Astronomi modern telah mengungkap bahwa logam besi yang ditemukan di bumi kita berasal dari bintang-bintang raksasa di angkasa luar. Menurut Harun Yahya, logam berat di alam semesta dibuat dan dihasilkan dalam inti bintang-bintang raksasa.

Akan tetapi sistem tata surya kita tidak memiliki struktur yang cocok untuk menghasilkan besi secara mandiri. Besi hanya dapat dibuat dan dihasilkan dalam bintang-bintang yang jauh lebih besar dari matahari, yang suhunya mencapai beberapa ratus juta derajat.

Ketika jumlah besi telah melampaui batas tertentu dalam sebuah bintang, bintang tersebut tidak mampu lagi menanggungnya, dan akhirnya meledak melalui peristiwa yang disebut "nova" atau "supernova".

Akibat dari ledakan ini, meteor-meteor yang mengandung besi bertaburan di seluruh penjuru alam semesta dan mereka bergerak melalui ruang hampa hingga mengalami tarikan oleh gaya gravitasi benda angkasa.

Semua ini menunjukkan bahwa logam besi tidak terbentuk di bumi melainkan kiriman dari bintang-bintang yang meledak di ruang angkasa melalui meteor-meteor dan "diturunkan ke bumi".

Subhanallah, penemuan itu ternyata telah diungkapkan pada abad ke-7 dalam kitab suci Alquran. Bahkan, besi menjadi nama salah satu surah Alquran, yakni Al-Hadiid.
Penemuan dunia astronomi tentang rahasia besi itu diungkapkan dalam surah Al-Hadiid [57] ayat 25,
''... Dan Kami turunkan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia ..." (Alquran, 57:25)

Kata "anzalnaa" yang berarti "kami turunkan" khusus digunakan untuk besi dalam ayat ini, dapat diartikan secara kiasan untuk menjelaskan bahwa besi diciptakan untuk memberi manfaat bagi manusia.

Tapi ketika kita mempertimbangkan makna harfiah kata ini, yakni "secara bendawi diturunkan dari langit", kita akan menyadari bahwa ayat ini memiliki keajaiban ilmiah yang sangat penting.
(www.republika.co.id)

Seputar Khitbah dalam Pandangan Islam



Saat ini sebelum perkawinan orang pasti memilih jalan untuk pacaran setelah itu bertunangan. Hal tersebut adalah fase yang wajib dijalani sebelum menikah. Umat Islam banyak yang melupakan bahkan tidak tau bahwa dalam masalah sebelum pernikahan Islam telah mengaturnya dengan adanya proses khitbah. Ikuti tulisan berikut ini supaya kita lebih mengetahui masalah Khitbah dan dapat menjalani proses tersebut dengan ridho Allah SWT. 

Oleh : Titin Erliyanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
SyariahPublications.Com — Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:

‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” 
(HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
II. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya
 (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ 
(HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar 
(QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
IV. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah saw bersabda:
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Wallahu’alam bi shawab. (www.syariahpublications.com)
Referensi:
An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI
Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam. Bandung: Irsyad Baitussalam
 Seputar Khitbah dalam Pandangan Islam
Posted by Farid Ma'ruf pada Mei 14, 2009
titin erliyanti
Titin Erliyanti
Oleh : Titin Erliyanti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia)
Di..kedalaman hatiku, tersembunyi harapan yang suci..
Ta..k, perlu engkau menyangsikan..
Le..wat.. kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu,
tak perlu dengan.. kata-kata
Sungguh..hatiku kelu tuk’ mengungkapkan perasaanku..
Namun, penantianmu pada diriku, jangan salahkan..
Kalau memang..kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang..
Nanti kubawa kau pergi ke syurga abadi..
kini belumlah saatnya aku membalas cintamu… nantikan ku..di batas.. waktu..

(Lirik dalam nasyid ‘Nantikanku di batas waktu’ oleh:Ad Coustic)
SyariahPublications.Com — Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim ketika dirinya terdiagnosa telah mengidap gejala-gejala terserang ‘virus merah jambu’ apalagi jika sudah sampai pada stadium yang akut (memangnya penyakit kanker.. ?).
I. Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya (Syamsudin Ramdhan, 2004:49).
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily (dalam MR. Kurnia, 2005:19) menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:

‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” 
(HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligusmenikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
II. Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu difahami ketika melakukan khitbah, antara lain:
a. Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Syamsudin Ramdhan (2004:54) mengungkapkan bahwa sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan (MR.Kurnia, 2005:23)
b. Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll (Syamsudin Ramdhan, 2004:55). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw:
Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah Saw bersabda:
Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya (HR. Abu Hurayrah)
c. Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak Khithbah An-Nabhaniy (2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya
 (HR.Ibnu Abbas)
Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut:
Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d. Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka. Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat.
Menurut Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu Dawud)
e. Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:

‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ 
(HR.Abu Hurayrah)
Selain itu, Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar 
(QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
III. Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah) (Muhamad Thalib, 2002:69)
Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya?
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw. (ibid).
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia
(HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan.
Firman Allah Swt:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian*] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32)
*] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah Swt, yaitu Pejuang di jalan Allah, mukatib (budak yang membeli dirinya dari tuannya) yang mau melunasi pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri dari perkara haram. (HR. At-Turmudzi)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia shaum karena sesungguhnya shaum itu merupakan benteng (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Ataupun, juga perintah-Nya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS.Al-Maidah[5]:2)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
IV. Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah. Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Rasulullah saw bersabda:
Sifat orang munafik itu ada tiga; apabila berkata ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi, dan bila dipercaya ia berkhianat. (HR. Bukhari)
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Muhammad Thalib (2002:76) mengungkapkan sebagai berikut, membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar (2005:4) mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim)
Demikianlah sekilas pandangan tentang proses khitbah serta beberapa hal yang terkait di dalamnya, semoga dapat memberikan pencerahan dan motivasi kepada sahabat-sahabat untuk segera merealisasikan keinginan yang selama ini telah menggebu-deru, namun masih terpendam dalam seolah enggan untuk nampak kepermukaan karena terkekang oleh perasaan malu-malu dan unselfconffident. Padahal, sesungguhnya ia merupakan sesuatu yang wajar dan boleh kita lakukan dengan disertai adanya kesiapan untuk memikul apapun resikonya.
Wallahu’alam bi shawab. (www.syariahpublications.com)
Referensi:
An-Nabhani, Taqiyudin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabanat Hizbut Tahrir. Bogor: PTI
Januar, Iwan. 2005. Bulan Madu Sepanjang Hari. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Kurnia, MR. 2005. Memadukan Dakwah dan Keharmonisan Rumah Tangga. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
………………..2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
Ramdhan, Syamsudin. 2004. Fikih Rumah Tangga. Pedoman Membangun Keluarga Bahagia..Bogor: Ide Pustaka
Thalib, Muhammad,Drs. 2002. 15 Tutuntunan Meminang Dalam Islam. Bandung: Irsyad Baitussalam